Doa Pelepasan yang Sebenarnya
Oleh: Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th
Setelah lulus dari sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) tahun 1993, saya langsung masuk Seminari untuk belajar di Fakultas Theologi dan menjadi Sarjana Theologia pada tahun 1997. Sejak saat itu, saya terus-menerus berkecimpung dalam dunia pelayanan Kristen, entah sebagai penginjil maupun sebagai pengkhotbah. Dalam pelayanan tersebut, saya beberapa kali melayani masyarakat yang mengalami banyak penderitaan dan berbagai bentuk kemiskinan. Sejak saat itu pula saya banyak belajar dari guru saya bagaimana mengadakan pelayanan yang disebut sebagai ‘doa pelepasan’.
Pelayanan ini sangat penting dan merupakan kebutuhan bagi orang yang mengalami banyak persoalan hidup karena penyembahan berhala dan kebiasaan buruk. Namun, sepenting apa pun pelayanan ini, bukan berarti pelaksanaannya boleh dilakukan secara sembarangan dan membabi buta. Praktik doa pelepasan seharusnya dilakukan dengan motivasi, maksud, dan metode yang benar, yang sesuai dengan pesan-pesan Alkitab. Di bawah ini saya uraikan pemahaman dan pengalaman saya sekitar praktek doa pelepasan ini agar tidak disalahpahami atau tidak disalahgunakan.
Saya mulai dari pelayanan doa pelepasan bagi anak-anak yang pernah dijadikan ‘tumbal’ oleh orangtuanya. Jika orangtuanya adalah penyembah berhala dan anak-anaknya ‘ditumbalkannya’ kepada setan, apakah anak-anak tersebut juga akan menyembah berhala seperti orangtuanya? Atau, orangtuanya adalah dukun dan anak-anaknya ‘ditumbalkannya’ kepada setan, apakah anak-anak tersebut juga akan menjadi dukun? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah: bisa ya dan bisa tidak.
Anak-anak seperti itu dapat meneruskan ‘dosa’ orangtuanya, namun bisa tidak meneruskannya. Hal ini berhubungan dengan dua faktor, yakni: berhubungan dengan kesadaran dari anak-anak tersebut dan berhubungan dengan pihak lain yang menolongnya. Inilah yang disebut dengan ‘pelepasan’. Jika si anak secara sengaja ‘berontak’ dan melawan terhadap ‘penumbalan’ itu, maka ia dapat lepas.
Sekalipun hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa. Terlebih ketika orang tersebut mau meneriman Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi; mengundang Dia untuk ‘hadir’ dalam hidupnya, yang ditandai dengan kemauan berdoa kepada-Nya dan mempercayai firman-Nya. Kelepasan juga dapat terjadi ketika seorang ‘hamba Tuhan’ memberikan bimbingan kerohanian melalui pembacaan firman Tuhan, memuji dan menyembah Tuhan bersama-sama, dan berdoa secara khusus untuk hal tersebut.
Ketika ‘pelepasan’ ini dilakukan, bisa saja terjadi gerakan-gerakan aneh, seperti muntah, histeris, menari-nari, meliuk-liuk, dan lain sebagainya. Berbagai manifestasi seperti ini dapat merupakan tanda ‘perlawanan’ dari roh jahat yang ada di dalam diri orang tersebut. Seseorang dapat dijadikan tumbal oleh orang lain apabila ia berada di dalam ‘otoritas’ atau ‘penguasaan’ yang menumbalkannya.
Otoritas yang dimaksud di sini dapat berupa ‘hubungan darah’, seperti anak kecil dengan orangtuanya, atau ‘hubungan hirarkis-emosional’ (hubungan batin), seperti pembantu rumah-tangga atau karyawan yang ‘lugu’ dan ‘cenderung bodoh’ majikan yang menguasainya. Namun, tidak semua anak dapat dijadikan tumbal oleh orangtuanya, dan tidak semua pembantu dapat dijadikan tumbal oleh majikannya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti usia, kecerdasan, kemandirian, dan iman. Anak yang sudah dewasa, cerdas, mandiri, dan memiliki iman yang kuat kepada Tuhan, tentunya, kalaupun bisa, akan lebih sulit dijadikan tumbal. Kriteria ini juga berlaku bagi bawahan atau karyawan.
Masih berhubungan dengan terjadinya manifestasi ketika seseorang ‘dilepaskan’ dari pengaruh roh jahat, harus dicatat bahwa tidak selalu dan tidak harus manifestasi tersebut ditandai dengan muntah, histeris, menari-nari, meliuk-liuk, dsb. Seseorang yang sudah ‘ditumbalkan’ biasanya akan dikuasai oleh roh jahat; roh jahat akan masuk ke dalam tubuhnya. Seperti kita ketahui bahwa roh jahat dapat masuk ke dalam tubuh seseorang, ketika roh itu ‘dimasukkan’ atau ‘diizinkan’ untuk masuk. Dan ketika orang tersebut ‘dilepaskan’ dari ikatan roh-roh jahat dalam nama Tuhan Yesus Kristus, maka roh jahat itu akan keluar. Namun, seseorang dapat ‘dilepaskan’ dan mengalami ‘pembebasan’ tanpa adanya ‘manifestasi’ seperti di atas.
Kelepasan yang sesungguhnya atas pengaruh roh jahat adalah ketika orang tersebut tidak lagi berada di bawah pengaruh dan penguasaan roh jahat, yang ditandai dengan adanya kedamaian di hati yang dicerminkan dengan kesegaran dan keceriaan wajah yang tulus, dapat berbuat kasih, tidak gelisah dan tidak suka mimpi buruk, tidak melakukan perbuatan yang jahat, dan mau berdoa dan merenungkan firman Tuhan secara pribadi di samping beribadah bersama di gereja. Adalah berbahaya bila kita mengukur kelepasan seseorang dari pengaruh roh jahat hanya dari manifestasi-manifestasi secara fisik tanpa diiringi dengan perubahan kerohanian. Sebab, apalah artinya seseorang mengalami manifestasi fisik ketika dilepaskan tanpa firman Allah ‘menguasai’ dirinya? Bukankah roh jahat yang sudah keluar itu akan masuk lagi dengan tujuh roh jahat yang lebih jahat darinya seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 12:43-45?
‘Doa pelepasan’ dibutuhkan setelah diadakan konseling pastoral. Konseling pastoral secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses untuk menemukan persoalan yang sesungguhnya (the real problem) dan faktor-faktor pendukung persoalan tersebut. Disebut sebagai ‘suatu proses’ adalah karena konseling pastoral tidak dapat dilakukan secara terburu-buru apalagi secara instan. Konseling pastoral dilakukan secara sabar dan bertahap, paling tidak, tidak hanya satu kali pertemuan. Konseling pastoral dilakukan dengan cara mempelajari latar belakang hidup ‘konsili’ (orang yang dikonseling) oleh ‘konselor’ (orang yang melakukan konseling) dengan tuntunan dari firman Allah yang terdapat dalam Alkitab. Doa pelepasan tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Doa pelepasan tidaklah efektif dilakukan, bahkan cenderung hanya akan menambah persoalan saja, ketika dilakukan tanpa mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya. Rasul Paulus pernah menasihati Timotius agar ia tidak sembarangan mengadakan ‘penumpangan tangan’ atas seseorang. Secara implisit pesan itu juga berhubungan dengan hal ini. Dengan didahului oleh konseling pastoral, kiranya kita tidak bersifat ‘menghakimi’ dan tidak secara sembarangan menuduh atau menentukan penyebab dari suatu masalah. Sebaliknya, tanpa didahului oleh konseling pastoral, seseorang dapat terjebak kepada penafsiran yang salah atas suatu masalah.
Misalnya, banyak orang, ketika melihat hanya secara sepintas saja, menilai bahwa seseorang yang ‘dilahirkan buta’ adalah karena disebabkan oleh dosa orangtuanya (dan nenek moyangnya) atau dosanya sendiri. Namun, menurut Tuhan Yesus dalam Yohanes 9:1-3, tidak semua masalah karena dosa, tetapi ‘supaya kemuliaan Allah dinyatakan melaluinya’. Hal yang sama juga terlihat secara jelas dalam kisah Ayub. Bila kita salah menafsirkan penyebab dari suatu masalah, maka kita akan menuduh pihak lain sebagai ‘biang keroknya’ secara tidak tepat. Hal ini dapat menimbulkan suatu ‘cap buruk’ atau stigma terhadap orang lain, yang tentunya dapat membawa ketidaksejahteraan dalam hati orang lain, bahkan dapat merusak citra mereka (character assassination?). Bila hal ini terjadi, maka ‘doa pelepasan’ tadi bukannya akan menyelesaikan masalah, tetapi akan menambah masalah.
* Penulis adalah Pendiri Sekolah Pengkhotbah Modern (SPM), Ketua STT Lintas Budaya, dan Pendiri Jakarta Breakthrough Community (JBC).
Sumber: Reformata
5 comments:
Shalom nama saya Ferdinandus tlg doa lepaskan saya yg terikat dgn roh kegelapan
Shalom saya minta dukungan Karana saya cepat emosonal tinggi 🙏🏻
Gimana caranya bisa dapat layanan kelepasan dari pastor?
Syalom tolong pak pendeta anak saya dileoaskan dari roh roh yg jahat
Setuju dengan artikel ini Pak Pendeta, saya juga beberapa Kali melakukan doa pelepasan untuk Keluarga dengan bimbingan Tuhan dan Tuhan berkenan melepaskan saudara tersebut dari belenggu dosa
Post a Comment