Kebapaan Allah: "Bapa Kami"
Mula-mula kita perlu tahu kepada siapa kita berdoa. Menurut Yesus, saat kita berdoa kepada Allah, Sang Khalik Semesta, kita dapat memanggil-Nya Bapa. Kata Bapa yang singkat ini merupakan suatu rangkuman dari seluruh iman Kristen. Hal ini merupakan jawaban bagi pertanyaan filsuf Lessing, "Apakah semesta ini bersahabat?" Saat orang Kristen sujud di hadirat Allah dan memanggil-Nya Bapa, mereka sedang mengakui bahwa pada pusat semesta tidak hanya terdapat sumber kekuatan, namun juga sumber kasih.
Namun tidak semua orang dapat memanggil Allah sebagai Bapa. Yesus-lah yang mengajarkan kita untuk berdoa demikian. Dia sendiri yang menjamin bahwa kita dapat menjalin hubungan dengan Allah dan menjadi bagian dari keluarga-Nya. Dia adalah Bapa kita dan kita adalah anak-anak-Nya.
Ada beberapa orang yang memiliki pandangan yang disebut, "Allah sebagai Bapa dan persaudaraan antar umat manusia". Pandangan ini tidak mencerminkan pengajaran Alkitab. Memang benar Allah adalah Pencipta segalanya, dan dalam pengertian ini berarti semua orang adalah "keturunan Allah" (Kisah Para Rasul 17:29). Namun relasi antara ciptaan dengan Penciptanya ini bukanlah relasi antara Bapa dan anak. Relasi Bapa-anak hanya dimungkinkan terjadi melalui hubungan kita dengan Yesus Kristus. Yohanes 1:12 berkata, "Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya."
Bisa memanggil Allah sebagai Bapa adalah sungguh suatu hak istimewa yang luar biasa—hak yang sering kali kita remehkan. Dalam Perjanjian Lama, umat Tuhan secara individu tidak memanggil Allah sebagai Bapa. Istilah Bapa sangat jarang digunakan, dan kalaupun dipakai, umumnya ditujukan pada hubungan antara Allah dengan umat Israel. Sepanjang yang kita ketahui, tidak ada satu pun tokoh Perjanjian Lama—Abraham, Yusuf, Musa, Daud, Daniel—yang pernah sujud berdoa dan berani memanggil Allah dengan nama Bapa. Namun dalam Perjanjian Baru, kata ini muncul 275 kali. Begitulah cara kita memanggil Allah. Berkat kematian dan kebangkitan Yesus, bibir kita dapat menyerukan Bapa kepada Sang Khalik Semesta.
Panggilan "Bapa kami yang di sorga", tidak hanya menandakan kedekatan hubungan yang kita miliki dengan Allah, namun juga menunjukkan kekaguman kita saat kita datang dalam doa kepada-Nya. Yesus pun mengingatkan kita bahwa Pribadi yang kita panggil Bapa itu adalah Allah yang berdaulat, Maha Kuasa dan penuh otoritas.
Mungkin bagi orang Kristen Yahudi mula-mula, lebih mudah memahami Allah sebagai Allah yang patut dikagumi ketimbang memahami Allah sebagai Allah yang memiliki hubungan intim dengan manusia. Sayangnya pada masa ini, terjadi hal yang berbeda. Kita tidak memandang Allah sebagai Allah yang menjadi sumber kekaguman kita. Pada zaman Perjanjian Lama, pemazmur tidak mungkin berkata seperti ini: "Saya tidak tahu jawabannya, tanyakan saja pada Dia.” Atau tokoh-tokoh Alkitab pada zaman Perjanjian Baru menyebut Allah dengan sebutan si 'Orang Besar di atas sana'. Kata-kata ini hanya mungkin diucapkan oleh orang-orang pada masa kini. Akan tetapi kalaupun kita memanggil Allah sebagai Bapa tidak berarti Dia adalah sebuah boneka beruang besar yang bisa dipeluk-peluk.
Alkitab tetap mempertahankan jarak antara keintiman dengan kekaguman. Penulis Ibrani berkata, "Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibrani 4:16). Fakta bahwa kita sedang menghampiri sebuah takhta seharusnya sudah cukup membuat kita kagum dan gentar. Namun kita dapat mendekat karena ini adalah takhta kasih karunia. Allah yang Maha Besar dan Maha Kuasa telah mengizinkan kita untuk datang menghampiri-Nya dalam doa dan memanggil diri-Nya Bapa, karena Yesus Kristus.
By Haddon Robinson
Sumber: "What Jesus Said About Successful Living"/RBC Ministries
0 comments:
Post a Comment